Angklung Caruk Menolak Punah

Salah satu grup peserta tingkat SD pada Festival Angklung Caruk Pelajar di Gesibu Blambangan (25/2/2017)
Salah satu grup peserta tingkat SD pada Festival Angklung Caruk Pelajar di Gesibu Blambangan (25/2/2017). Foto : Riedo Andy Kurniawan

Di tengah terik panas siang hari, terdengar suara alunan musik tradisional Angklung Caruk melalui corong speaker bertiang bambu setinggi lebih dari 6 meter. Sudah menjadi aturan tak tertulis dalam setiap hajatan sekitar pukul 13.00, operator sound system selau memutar rekaman musik Angklung Caruk. Kala itu salah satu warga desa di Olehsari-Glagah sedang mengadakan hajatan pernikahan. Ternyata ingatan kolektif masyarakat di desa-desa Using hari ini masih menyimpan sisa kejayaan kesenian rakyat Angklung Caruk masa lalu. Memang, puncak keramaian dan keseruan Angklung Caruk di saat siang hari ketika matahari sedang terik-teriknya. Angklung Caruk biasa ditanggap warga yang sedang berhajat pada siang hari dalam rangka meramaikan sykurannya baik pernikahan maupun khitan.

Bagi generasi muda di kalangan masyarakat Using yang lahir pada tahun 90-an keatas, tak banyak tahu tentang seluk-beluk kesenian Angklung Caruk. Bisa dikatakan kesenian rakyat ini hampir punah dimakan zaman. Jika tahu-pun, mereka (termasuk penulis) tidak begitu paham bagaiamana aturan main kesenian yang menonjolkan adu ketangkasan bermusik ini. Dua – tiga dekade belakangan Kesenian Angklung Caruk mengalami masa suram. Hal ini bisa dilihat jarangnya masyarakat mengundang kesenian ini di acara hajatannya. Ada banyak faktor yang menyebabkan kemunduran eksistensi kesenian ini. Diantaranya : sering terjadinya kericuhan antar pendukung grup, baik itu kericuhan kecil seperti adu mulut hingga kericuhan fisik. Akibatnya, tercipta stigma buruk pada kesenian ini yang identik dengan kekacauan. Namun jika ditelaah kembali, sebenarnya faktor lain juga berperan,  seperti pergesaran selera berkesenian kalangan muda akibat pengaruh globaliasasi yang didukung dengan kemudahan teknologi informasi. Juga tidak adanya regenarsi budaya angklung caruk di pendidikan formal.  Akibatnya, estafet kelangsungan Angklung Caruk berhenti pada generasi di bawah 90-80an. Kini  Angklung Caruk kalah eksis dengan kesenian lain seperti Janger, Jaranan, Barong dan kesenian tradisi lain yang masih digandrungi generasi hari ini.

Momentum yang cukup menggembirakan bagi masyarakat pencinta kesenian tradisi Banyuwangi datang di tahun 2017. Pasalnya, di tahun ini pemerintah menggelar festival angklung caruk di tingkat pelajar SD dan SMP se-Banyuwangi. Di tengah ramainya gegap gempita pemerintah menyelenggarakan festival dalam rangka meningkatkan kunjungan turis, di sisi lain masih belum ada upaya pelestarian kesenian Angklung Caruk yang hampir punah ini. Sebelumnya di tahun 70-an hingga terakhir tahun 1993, pemerintah setiap tahunnya menyelenggarakan festival kesenian tradisi seperti Janger, Gandrung termasuk  Angklung Caruk tentunya. Namun lomba kala itu lebih ditujukan untuk peserta grup-grup profesional dalam rangka mengkurasi seniman-seniwati profesional terbaik dari berbagai daerah di Banyuwangi.

Di berbagai forum diskusi informal antar pemerhati budaya kerap kali melontarkan krenteg perlu adanya upaya nguri-uri kesenian Angklung Caruk melalui festival di kalangan generasi muda. Terakhir diadakan festival Angklung Caruk pada tahun 1993, hingga kini baru diadakan kembali pada 25 maret 2017 lalu. Adalah dr. Taufiq Hidayat yang juga direktur RSUD Blambangan, sosok yang menggagas terselenggaranya kembali festival angklung caruk ini. Gagasannya juga mendapat sambutan positif dari pemerintah, terbukti festival ini dimasukkan menjadi agenda Banyuwangi Festival 2017.

Dokter spesialis andrologi yang gemar memainkan angklung ini berharap musik yang berkembang dari akar budaya Using dapat lestari selamanya. Oleh karena itu perlu regenarasi pemain musik tradisi yang dapat memainkan alat musik dengan baik. “Sangat berharap musik Using ini lestari selamanya, untuk itu kita membutuhkan generasi muda yang bisa memainkan alat musik banyuwangi dengan baik melebihi generasi-generasi sebelumnya”, paparnya.

Beradu kelihaian bermusik, ajang sportivitas antar grup

Kekhasan musik tradisi Banyuwangi memang tak diragukan lagi. Musiknya lahir dari tradisi kerakyatan yang dinamis, menyerap unsur dalam maupun luar dan berkembang secara kreatif. Angklung di kalangan masyarakat Blambangan lahir dari Angklung Paglak. Sepasang angklung yang memberi spirit kehidupan para petani. Menurut beberapa tokoh budaya dalam catatan Musik Tradisi Nusantara edisi Banyuwangi (Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, 2007) genre musik ini lahir sekitar tahun 1927. Kemudian berkembang Angklung Dwilaras (menggunakan laras pelog dan slendro), setelahnya berkembang Angklung Melekan (Sepasang angklung, 4 pasang balungan, sepasang kendang dan seperangkat gong, kempul dan pesinden). Angklung Melekan biasa disajikan dalam hajatan masyarakat yang dipentaskan semalam suntuk. Angklung Melekan inilah yang melandasi munculnya Angklung Caruk. Jika Angklung Melekan hanya Terdiri seperangkat gamelan dalam satu pentas, maka Angklung Caruk menggunakan dua perangkat gamelan berbeda grup untuk mengadu ketangkasan keterampilan bermusiknya.

Seperangkat gamelan angklung terdiri dari 2 buah Ancak Angklung berhiaskan ular berkepala manusia, 2 buah Slenthem, 4 buah saron, 2 buah peking, sepasang kendang, kethuk, dan gong. Sebagai pelengkap terkadang juga ditambahkan Biola dan pesinden sebagai pemanis sajian. Slenthem berfungsi sebagai pembuat lagu sedangkan angklung, saron dan peking sebagai pemangku lagu dan penghias. Permainan saron dan peking dengan teknik imbal saling mengsisi membuat melodi yang begitu rumit dan cepat namun menghasilkan berbagai ragam irama musikal yang sangat dinamis. Sepasang ancak angklung di bagian depan, di belakangnya tertata secara berhadapan antara saron dan peking, dan di bagian ujung sepasang slenthem memimpin terciptanya rangkaian gendhing. Penabuh slenthem dan angklung sebagai pengomando biasa disebut satu. Di deratan ujung lain terdapat penabuh kendang, kethuk dan gong. Masing-masing grup menampilkan Badut. Badut bukanlah sosok tokoh lelucon seperti pengertian pada umumnya. Ia seorang penari pria yang memiliki kelincahan menari mengikuti irama musik tetabuhan. Tugasnya sebagai provokator mengoyak suasana. Badut biasa mengejek grup lawan dengan bahasa tubuh gerakan tariannya bahkan lontaran kata-kata yang membuat panas telinga grup lawan.

Inti dari pertunjukan kesenian ini beradunya dua grup angklung. Kedua grup bertempur adu permainan musik dan ketangkasan menebak gending yang dilontarkan sang lawan. Terdapat aturan main yang sudah menjadi kesepakatan bersama dan menjadi pakem tradisi. Di awal pertunjukan kedua grup melakukan undian, grup yang menang akan menampilkan kepiawaianannya terelebih dahulu. Tahap pertama kelompok yang menang memulai tahapan larasan dan Sempalan pertama, yaitu gending pemanasan yang diambil dari repetoar gending-gending tradisi Banyuwangen.  Setelah itu mulailah tahap Klocian, tahap dimana grup membawakan gending garapan yang belum pernah ditampilkan sebelumnya. Selanjutnya Sempalan kedua, gending garapan yang berbeda dengan klocian. Pada tahap sempalan, gending ini menjadi tantangan bagi  Grup lawan. Engselan merupakan tahap terakhir yaitu menyajikan gending-gending tradisi banyuwangi dengan berbagai kreatifitas improvisasi. Tahap engselan dimaksudkan memberi kesempatan lawan untuk berkonsolidasi mengatur siasat.

Masuklah pada tahap caruk sebagai inti dari pertunjukan. Maka mulailah grup lawan menirukan serangkaian klocian dan sempalan dari grup sebelumnya. Jika grup lawan bisa meneruskan gending pada klocian dan sempalan, maka mereka akan segera manabuh alat musik sacara serampangan kemudian melanjutkan alur gending. Jika salah, maka grup satu akan merebut kembali dengan menabuh gamelan dengan serampangan juga, kemudian melanjutkan alur gending yang benar. Sepanjang pertandingan yang cukup seru itu, badut dari masing-masing grup akan menari dan juga memprovokasi panasnya suasana pertempuran bermusik.

Selama pertunjukan berlangsung, tak jarang masing-masing grup dan juga pendukungnya saling beradu mulut dengan saling ejek satu sama lain. Bahkan menurut kisah orang-orang tua dahulu, kerap kali menggunakan adu kekuatan supranatural untuk menjatuhkan lawan. Di akhir kejayaannya pertunjukan angklung caruk sering diidentikkan menimbulkan kericuhan antar pendukung. Namun sebenarnya, adu keterampilan bermusik di kalangan masyarakat Using pada angklung caruk sendiri jauh dari unsur kekerasan fisik. Jika ada, kemungkinan datang dari penonton di luar pertunjukan. Pendapat ini diperkuat oleh Hasan Sentot, salah satu pemerhati budaya Banyuwangi yang juga jurnalis era 90an. Menurutnya, Sportifitas di kalangan panjak (penabuh) dari dulu memang sangat tinggi. Berbagai macam olokan yang menjatuhkan lawan sudah menjadi hal biasa. Tidak ada cerita panjak sakit hati dan bertindak kekerasan fisik antar grup. Hal ini sejalan dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat Using yang egaliter, juga suka melontarkan hal-hal serius dalam bingakai  candaan. Konflik horisontal pun sangat jarang terjadi kalangan masyarakat Using.

Kesenian ini sangat mengandalkan kecerdasan insting bermusik yang sangat tinggi. Maka masing-masing grup harus menyiapkan gending yang sangat orisinal sebelum tampil jauh-jauh hari. Di masing-masing kampungnya mereka berlatih di rumah sang juragan pemimpin grup. Skill bermusik umumnya terbentuk secara kultural sejalan dengan nafas keseharian masyarakat Using.

Intisari Musik Tradisi Banyuwangi

Banyuwangi memang memiliki kekayaan musik tradisi yang sangat beragam. Angklung Caruk begitu dinamis, berawal dari Angklung Paglak bertransformasi seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Using dalam upaya menerima dan mengolah kembali unsur-unsur luar dan dalam menjadi produk budaya yang khas. Seperangkat gamelan Angklung Caruk menghasilkan gending memiliki kekhasan yang sangat “Banyuwangi”. Kekhasan gamelan Banyuwangi cukup menonjol diantara budaya yang eksisis di sekitarnya, seperti Jawa, Madura dan Bali.

Menurut Moh. Syaiful dalam catatannya “Angklung Paglak dan Nilai-nilai Kehidupan Masyatakat Desa”, Angklung Banyuwangi terbuat dari bilah-bilah tabung bambu memiliki nada slendro Banyuwangian. Nada Slendro Banyuwangian berbeda dengan yang ada pada umumnya gamelan Jawa. Slendro Banyuwangian tersusun dalam tiga oktaf tangga nada pentatonik dengan 15 nada. Nada Slendro Banyuwangian dalam kancah seni musik tradisi Nusantara telah diakui memiliki karakter identitas tersendiri.

Pada perkembangannya menjadi seperangkat Gamelan Angklung Caruk, modifikasi tambahan insntrumen memunculkan Slenthem, Saron dan Peking. Ketiganya memiliki perbedaan ukuran, masing-masing terdiri dari 10 bilah besi dengan nada rendah hingga tinggi. Ketiga jenis instrumen tersebut terbuat dari bilah-bilah logam besi menghasilkan jenis suara yang khas. Sebagai kesenian yang tumbuh di kalangan rakyat Blambangan yang tanpa kasta dan jauh dari budaya keraton yang feodal, wajar besi digunakan sebagai bahan dasar gemelan. Tidak seperti gamelan Jawa dan Bali yang kebanyakan menggunakan perunggu. Perbedaan yang menonjol dari slenthem, saron dan peking banyuwangi dengan Jawa dan Bali ada pada interval, resonansi, dan timber di samping teknik pukulnya . Slenthem sebagai pembawa lagu kemudian diisi dan diperkuat oleh jalinan melodi dari saron dan peking yang sangat rumit dan cepat saling mengisi atau disebut teknik pukul timpalan. Unsur inilah yang membuat musik gamelan Banyuwangi sulit dimainkan oleh masyarakat diluar budaya Banyuwangi. Kendang dan Kempul merupakan dua instrumen musik yang tidak bisa dipisahkan dalam khasanah musik tradisi Banyuwangi yang berakar dari kesenian Gandrung. Ragam pukulan kendang yang bervariasi menjadi pengatur tempo dan ritme permainan instrumen gamelan dan angklung. Begitu juga gong yang memberikan tekanan-tekanan pada tiap akhir kalimat dan gending.

Karakter utama dari jiwa musik tradisi Banyuwangi adalah ritme yang cepat dan dinamis namun tetap harmonis. Selain itu, karakter lain yang cukup menonjol adalah alunan ritme ragam pukulan musik tersebut menghasilkan irama yang menciptakan suasana riang dan gembira. Karakter ini sangat mencerminkan sikap dan watak serta kondisi sosial budaya masyarakat Using yang sangat egaliter dan terbuka.

Seiring perkembangan zaman, kreativitas seniman tradisi banyuwangi berkembang semakin dinamis. Seperangkat gamelan angklung juga digunakan sebagai musik pengiring tari kreasi yang diciptakan oleh para seniman. Hal ini tentu memperkuat dan memperkaya peran gamelan angklung dalam jagad dinamika kesenian di Banyuwangi. Begitu juga gending-gending yang lahir dari karya seniman-seniman pasca kemerdekaan, juga tidak lepas pada pakem tradisi musik angklung sebagai dasar aransemen lagunya.

Harapan

Dinamika kehidupan masyarakat Banyuwangi khususnya masyarakat Using tidak lepas dari resistensi kebijakan pemerintah di masing-masing rezimnya. Walaupun sebenarnya ada berbagai faktor lain yang mempengaruhi pasang surut kesenian banyuwangi di luar kebijakan pemerintah. Namun di sisi lain, pemerintah memiliki peran yang cukup penting dan sentral dalam upaya menjaga kelestarian seni tradisi di Banyuwangi.

Pada kasus Angklung caruk ini misalnya, kejayaan angklung caruk di tengah-tengah masyarakat memang hampir hilang ditelan zaman. Bahkan hampir sebagian generasi milineal Banyuwangi tidak mengenal kesenian ini. Maka keberadaan festival Angklung caruk pelajar ini menjadi harapan baru bagi perkembangan musik tradisi Angklung Caruk di Banyuwangi. Sasaran pelajar sebagai peserta lomba  memang sangat tepat. Melalui festival ini diharapkan akan lahir bibit-bibit baru pemain musik yang handal.

Masuknya kesenian tradisi khususnya angklung caruk di ranah pendidikan formal juga akan berpengaruh pada semakin kuat posisinya di tengah-tengah kehidupan masyarakat moderen saat ini. Melalui pendidikan formal diharapkan memunculkan berbagai peluang baik bertujuan praktis hingga teoritis. Pada tataran praktis akan menghasilkan genarasi yang mengenal dan atau keterampilan memainkan musik kesenian angklung caruk. Pada ranah teoritis harapannya akan memunculkan metode pembelajaran musik banyuwangi, bahkan pada tahap yang lebih serius akan mendorong kajian-kajian akademik berupa dokumentasi, penelitian, bahkan wacana kajian musik tradisi Banyuwangi. Tentu ini menjadi harapan cerah di masa depan dalam upaya melestarikan serta mengembangkan seni tradisi Banyuwangi yang memang dilakukan oleh sendiri oleh masyarakat dan pemerintahnya. Hingga saat ini posisi kedudukan budayaan masyarakat Using masih belum memiliki fondasi yang begitu kuat dalam hal upaya mempertahankan identitasnya. Hal ini disebabkan karena minimnya produk budaya tulis, wacana dan kajian ilmiah tentang unsur-unsur budaya pembentuknya dalam rangka memperkuat jati diri masyarakat Using.

Arif Wibowo

Koordinator Riset dan Pengembangan PD BPAN Osing

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *