Olehsari 6/5/2017- Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Osing Banyuwangi (PD AMAN Osing) beserta organisasi sayapnya yakni Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (PD BPAN Osing) merumuskan pendirian sekolah adat di Kabupaten Banyuwangi. Berdirinya sekolah adat ini merupakan sekolah informal untuk melengkapi sekolah formal yang mayoritas sudah dienyam oleh anak-anak komunitas adat Using Banyuwangi. Nantinya kurikulum sekolah adat tersebut menyesuaikan kebutuhan dan potensi masing-masing komunitas. Hal tersebut dikatakan Hasan Basri, Dewan penasehat PD BPAN Osing pada saat FGD (Focus Group Discusion) perumusan sekolah adat pada Sabtu(6/5) di Desa Olehsari.
Menurut Hasan, sekolah adat ini juga sebagai penyeimbang pariwisata Banyuwangi yang sedang gencar dipromosikan oleh pemerintah daerah dengan konsep Culture Tourism. “Sekolah adat Banyuwangi ini sebagai penyeimbang pariwisata Banyuwangi yang sedang menggeliat, apalagi di wilayah Olehsari ini menjadi jalurnya wisata, sehingga banyak budaya luar yang masuk,” tutur Hasan.
Sejalan dengan pemikiran Hasan, Anggota AMAN dan pendiri sekolah bermain Kampoeng Batara Widie Nurmahmudy mengatakan, sekolah adat menyesuaikan kebutuhan dan potensi komunitas masing-masing. Sistem pembelajaranya-pun beragam menurut kultur serta pengajar yang berbeda, mulai dari masyarakat setempat sampai relawan dari luar komunitas. “Hendaknya sekolah adat Banyuwangi tidak bisa disamakan dengan sekolah adat yang diluar jawa, karena kondisinya berbeda,” ungkap laki-laki yang menjadi peserta sarasehan Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke-5 (KMAN) tentang pendidikan adat di Tanjung Gusta, Sumatra Utara pada Maret lalu ini.
Dalam FGD tersebut diputuskan dua sekolah adat yang akan didirikan yakni di Wilayah adat Kemiren dan Wilayah adat Olehsari. Dua wilayah bertetangga itu dinilai telah siap mendirikan tempat pesinaunan pemuda adat tersebut karena disana masih mempunyai adat dan budaya yang kuat. Namun disisi lain budaya tersebut terancam berubah seiring dengan meningkatnya pariwisata dan budaya luar.
Arif Wibowo selaku koordinator pengembangan riset PD BPAN Osing berharap dengan adanya sekolah adat ini dapat mendorong generasi muda sejak dini akan kesadaran budaya lokal sebagai identitasnya. Seperti pengajaran bahasa Using, pengenalan adat, seni tradisonal, dan hubungan ritual dengan alamnya.
“Pendidikan alternatif ini juga lebih diarahkan pada aktivitas ruang terbuka sebagai upaya pengenalan akan kesadaran lingkungan,” ungkap Arif.
Hasan juga sependapat, materi yang sebaiknya wajib diangkat yakni kebiasaan leluhur. Kata dia kebiasaan leluhur saat ini sudah banyak terancam seiring era modernisasi, misalkan ketertarikan pemuda bercocok tanam dan ritual-ritualnya. Pihaknya mengharapkan adanya sekolah adat ini dapat meningkatkan rasa memiliki pemuda terhadap tanah leluhurnya, seperti para nenek moyangnya yang mengekspresikan rasa itu melalui ritualnya. Sebab menurutnya, jika rasa memiliki itu tidak ada, maka tanah tersebut dijadikan suatu komoditas yang berorientasikan materi dan berpotensi tidak dikelola dengan bijak.
“Ritual-ritual masyarakat Using sebenarnya mendekatkan kita kepada alam raya,” pungkas Hasan. ***Akbar Wiyana