Minggu (17/12/2017), sekelompok tokoh penembang Macaan atau Macapatan dari beberapa perwakilan identitas etnis di Banyuwangi berkumpul di Rumah Budaya Osing desa Kemiren. Mocoan Using, Macapatan Jawa, Mebasa Bali dan Mamaca Madura. Masing-masing diwakili oleh penembang yang piawai membaca macapat khas keempat etnis yang eksis di Blambangan sejak dulu itu. Babad Tawangalun merupakan naskah kumpulan kisah raja-raja Blambangan yang tersusun dalam ragam tembang macapat.
Cuaca sore hari yang gerimis tidak menghalangi sekelompok pegiat budaya di Bumi Blambangan untuk berkumpul di Balai Umah Tikel Rumah Budaya Osing (RBO). Mereka datang dari berbagai daerah di Banyuwangi mewakili identitas etnis besar yang mendiami Banyuwangi sejak zaman Blambangan. Using, Jawa, Bali dan Madura adalah kelompok etnis yang cukup mewarnai kehidupan wilayah ujung timur Jawa hingga saat ini. Dimulai tepat pukul 15.00 wib, seperangkat sesaji dengan tata cara Using digelar beralas tikar. Sebanyak 13 tokoh penembang berjajar melingkar untuk membaca tembang babad Tawangalun secara bergantian.
Kegiatan ini dikemas cukup unik, hening dan santai, juga terbuka untuk dinikmati oleh publik. Selain diikuti pegiat macaan, antusiasias datang dari beberapa pegiat budaya juga turut hadir dalam acara ini seperti Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) PD OSING dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Pembacaan tembang Babad Tawangalun ini setidaknya memiliki dua tujuan sekaligus. Pertama, pendokumentasian sastra lisan jenis macaan/macapat yang berkembang cukup beragam di Banyuwangi dalam bentuk audio. Masing-masing etnis memiliki ciri khas cengkok lagu yang berbeda. Kekayaan warisan ini perlu didokumentasikan sebelum terkikis oleh perkembangan zaman. Kedua, pembacaan Babad Tawangalun ini menjadi ajang transliterasi teks babad dari bahasa Jawa kuna ke bahasa Indonesia yang mudah dipahami oleh masyarakat awam saat ini. Audiens yang datang, selain mendengarkan tembang dari pembaca babad, juga mengetahui terjemahan bebas berupa narasi masing-masing pupuh yang ditampilkan pada layar. Setiap peserta juga mendapat booklet Babad Tawangalun yang berisi teks babad yang ditulis dengan huruf latin dan terjemahan bebasnya. Melalui cara ini, masyarakat awam bisa dengan mudah memahami isi kandungan Babad Tawangalun
Pembacaan tembang Babad Tawang Alun lintas budaya ini digagas oleh Suhalik, salah satu pemerhati dan pegiat sejarah di Banyuwangi. Menurutnya, kegiatan ini menjadi ajang pelestarian dan dokumentasi ragam tembang macapatan di Bumi Blambangan. Lebih dari itu, pembacaan babad lintas budaya ini menjadi ekspresi kebhinekaan yang sudah terbangun sejak Babad Tawang Alun ini lahir. “Gagasan ini merupakan respon atas kondisi sosial yang tengah mengemuka akhir-akhir ini, yaitu politik identitas”, papar Pak Suhalik yang saat itu kami temui di sela-sela acara.
Ia berharap, ditengah pengapnya suasana kehidupan sosial terkait semakin mengerasnya politik identitas, forum-forum lintas identitas dan budaya semacam ini menjadi tempat berteduh yang nyaman untuk saling bertegur dan bertukar sapa.
Hal senada juga disampaikan Wiwin Indiarti, dosen peneliti dari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas PGRI Banyuwangi. Sekretaris PD AMAN Osing yang juga sebagai koordinator acara ini, menurutnya pembacaan Babad Tawangalun lintas budaya ini memiliki arti penting sebagai perayaan realitas multikultural Banyuwangi (Diversity Celebration) sekaligus peneguhan bahwa keragaman yang ada tidak menjadi penghalang untuk menggalang persatuan. Terbukti Babad Tawangalun yang terdiri dari 12 pupuh bisa dikidungkan dengan indah dengan empat cengkok yang berbeda. Tak hanya bagi penembangnya, acara ini memberikan pengalaman yang unik, momen mendengarkan secara langsung macaan/mebasa/mamaca/macapatan. Hal ini juga mendorong rasa ingin tahu lebih besar audience terhadap Babad Tawangalun.
Menariknya, Babad Tawangalun sebelumnya tidak pernah dikidungkan baik pada tradisi lisan Using yaitu Macaan maupun Macapatan Jawa, Mebasa Bali dan Mamaca Madura di kalangan masyarakat umum. Sebelum acara ini berlangsung, para penembang dari keempat etnis itu berlatih terlebih dahulu. Persiapan latihan itu untuk memastikan ketepatan cengkok lagu masing-masing etnis ketika dikidungkan dengan teks Babad Tawangalun. Selama ini Babad Tawangalun ini hanya dibaca oleh kalangan keluarga pewari dan kalangan akademisi maupun pegiat dan pemerhati sejarah untuk tujuan penelitian.
Babad Tawangalun
Babad Tawangalun merupakan naskah yang menceritakan nenek moyang keluarga raja-raja Blambangan yang bermula dari para pangeran Kedawung di abad ke-17. Silisilah Raja Blambangan dalam Babad Tawangalun ini mencakup rentang waktu lebih dari dua abad sebagai karya anonim. Terdiri dari 12 pupuh, naskah Babad Tawangalun ini memiliki beragam versi salinanannya baik dalam bentuk macapat (puisi) maupun gancaran (prosa).
Beragam versi atau salinan naskah Babad Tawangalun berbentuk tembang macapat yang ditemukan, hingga saat ini didalamnya banyak ditemukan ketidaksesuain dengan aturan guru lagu dan guru wilangan yang lazim digunakan sebagai kaidah tembang macapat. Naskah induk babad ini ditulis dalam bentuk aksara Jawa dan Arab Pegon. Menurut Suhalik, Babad Tawangalun memiliki karakteristik bobot sejarah yang tinggi jika dibandingkan dengan babad-babad lain di Jawa dan Bali. Babad Tawangalun ditulis tidak jauh dari masa eksistensi Kerajaan Blambangan. Kebanyakan Babad lebih cenderung bernilai pujasastra daripada sejarah.
Sebagai kerajaan Hindu terakhir di Jawa, Blambangan mengalami pasang surut dalam beberapa periode. Berbagai peristiwa intrik perebutan kekuasaan dan gilang gemilang kejayaan hingga keruntuhannya terangkum dalam Babad Tawangalun ini. Oleh karena itu, dengan membaca ulang masa lalu melalui tembang macaan Babad Tawangalun, generasi hari ini diharapkan bisa belajar dari sejarah. Bahwa, perebutan kekuasaan dan politik pecah belah antar golongan menjadi jalan kehancuran sebuah peradaban. Maka dari itu, menghargai kebhinekaan menjadi jalan dan upaya menyelamatkan kelangsungan suatu peradaban. Pembacaan Babad Blambangan dengan empat cengkok berbeda dari empat etnis ini, tentu menjadi cermin dan ekpresi kebinekaan yang unik dari ujung timur Pulau Jawa. ***ArifWibowo